Kalau kita perhatikan lukisan oriental, banyak yang mengambil tanaman bambu sebagai objek. Tentu kita bertanya-tanya, "Mengapa bambu?" Apanya yang menarik atau unik dari tanaman ini? Padahal kalau mau jujur, dari segi keindahan masih banyak tanaman atau objek lain yang jauh lebih menarik. Mengapa harus bambu?
Ternyata bukan soal keindahan atau keunikan belaka yang menjadi dasar pertimbangan. Di dalam tanaman bambu terkandung simbolisasi nilai-nilai luhur yang diajarkan Para Bijak zaman dahulu, terutama oleh Sheng Ren Kong Zi atau Nabi Khonghucu. Nilai-nilai luhur itu kemudian diejawantahkan dalam lukisan bambu, yang biasanya diperkaya dengan seuntai puisi atau syair yang indah dan penuh makna.
Nilai pertama adalah tentang Xiao, Hauw atau Laku Bakti. Seseorang yang tidak memiliki Xiao, dianggap orang yang tidak berbudi, tidak tahu terima kasih, seperti kacang lupa kulitnya. Pada zaman dahulu, kalau seseorang dikatakan Bu Xiao, Put Hauw, atau tidak berbakti, itu merupakan sebuah bentuk hukuman moral yang paling tinggi, paling berat. Bila seseorang dianggap Bu Xiao, bisa jadi orang yang bersangkutan akan terasing hidupnya, dicibir atau bahkan dijauhi oleh lingkungannya. Yang dimaksud dengan Xiao adalah Laku Bakti dalam arti luas. Mulai dari berbakti kepada orangtua, guru atau yang dituakan, keluarga, masyarakat, bangsa, negara sampai pada kemanusiaan. Meski demikian tidak jarang perilaku Laku Bakti ini direduksi seolah-olah hanya untuk orang tua atau untuk hal tertentu saja. Padahal bertanggung jawab atas kesehatan dan kebaikan diri sendiri juga merupakan salah satu wujud dari Xiao atau Laku Bakti.
Kalau kita lihat tanaman bambu, pada saat ia bertumbuh besar, secara hampir bersamaan ia juga beranak-pinak dengan cara bertunas. Artinya bambu melakukan dua hal penting sekaligus, yaitu: merawat diri dan berkembang biak. Keduanya merupakan lambang Xiao atau Laku Bakti, menjaga warisan orangtua dan melanjutkannya sepenuh hati.
Mengapa bambu yang relatif jauh lebih kecil ketimbang pepohonan lain bisa lebih lentur dan liat? Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya ruang kosong di dalam batang bambu. Ruang ini disamping bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan bunyi atau nada, juga melambangkan sifat kosong atau rendah hati (Di). Karena ada kerendahan hati, merasa diri masih kurang, maka seseorang bisa berniat atau berkeinginan untuk belajar. Kalau tidak kosong, maka tidak ada ruang untuk menerima pendapat orang lain alias sombong.
Nilai Di atau kerendahan hati ini perlu dikembangkan terus-menerus. Hanya orang rendah hati saja yang selalu merasa kurang pandai. Dengan sifat ini ia akan terus merasa terpacu untuk belajar, yang pada akhirnya akan membuatnya semakin bertambah pengetahuan. Sikap rendah hati juga akan membuat orang lain sulit mengukur kekuatan dan kelemahan kita. Dengan demikian nilai tawar kita akan semakin tinggi karena sulit untuk diperkirakan tinggi rendahnya.
Sifat bambu ketiga adalah lurus. Hampir tidak pernah dijumpai ada bambu yang tidak lurus atau bercabang. Sifat ini melambangkan Zhong atau kesatyaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Namun yang sesungguhnya, Zhong bukanlah sekadar satya belaka, namun juga melukiskan keseimbangan atau Tepat Tengah. Dengan demikian, seseorang yang sudah sampai pada tahapan Zhong, sudah lepas dari subjektivitas diri yang berlebihan. Dengan menghayati sikap Zhong, orang akan tahu kapan harus berjalan maju, berhenti atau bahkan kapan harus berjalan mundur, sehingga ia akan mencapai tempat atau cita-cita yang tepat, pas dan tidak berlebihan.
Kalau kita melihat rerumpun bambu yang rimbun, maka bisa kita melihat bahwa bambu-bambu tersebut banyak yang condong ke berbagai arah. Ada yang condong ke depan, ke belakang, ke kapan atau ke kiri. Namun meski berbeda-beda arah, rerumpunan bambu tetap merupakan satu kesatuan utuh, karena mempunyai jalinan akar yang menyatu, tersambung satu sama lain. Ini mengibaratkan perilaku seorang Junzi (beriman, terpelajar dan berbudi luhur), yang meski berbeda-beda, namun tetap bisa rukun. Sementara Xiao Ren (orang rendah budi), meski sama tidak bisa rukun.
Makna lebih jauh yang bisa dipetik adalah sikap Dapat Dipercaya atau Xin. Meski berbeda pandangan, kalau sudah menyangkut hal mendasar, maka perbedaan akan luruh dikalahkan kepentingan yang lebih besar. Dalam kalimat yang berbeda, kebenaran yang lebih kecil, haruslah bisa mengalah pada Kebenaran Besar atau kepentingan bersama. Di sini kebenaran kecil dilambangkan dengan arah bambu yang berlawanan, sedang Kebenaran Besar dilambangkan dengan saling menyatunya jalinan akar satu bambu dengan lainnya.
Ciri khas bambu yang kelima adalah beruas-ruas alias berbuku-buku pada batangnya. Ini melambangkan perlu adanya tahapan, tatanan atau aturan. Dalam bahasa yang lebih agamis filosofis bisa diartikan sebagai kesusilaan atau kesantunan sosial. Dengan demikian ciri khas bambu kelima ini bisa melambangkan nilai-nilai kesusilaan, tata susila atau Li. Selain bisa melambangnya makna Li, ruas bambu juga melambangkan arti pentingnya sebuah proses. Ini untuk mengingatkan kita semua yang sering tidak sabar melalui proses demi proses, tahapan demi tahapan.
Nilai luhur keenam adalah Yi atau kebenaran. Simbolnya ialah akar bambu yang menghujam lurus masuk ke dalam tanah. Ini berarti semua tindakan kita haruslah mempunyai dasar pijakan yang tepat. Dengan demikian bisa dipertanggungjawabkan secara kuat. Akar yang kuat, lurus dan menghujam dalam jauh ke bawah permukaan bumi inilah yang membuat tanaman bambu kokoh dan tidak mudah tumbang. Demikian pula seharusnya setiap tindakan kita. Bila dilandasi oleh nilai kebenaran, maka setiap langkah atau tindakan yang kita ambil akan lebih pasti, mantap, tugas dan tidak gamang.
Nilai moral ketujuh adalah Lian, Suci Hati, Tulus Hati atau Ketulusan, yang dilambangkan dengan jalinan akar bambu. Dengan adanya sifat ini maka setiap orang akan dibuka mata hatinya untuk saling menyapa, menolong dan membantu, seperti halnya bambu yang kelebihan makanan karena tumbuh di tempat yang lebih subur menolong bambu yang kekurangan makanan karena tumbuh di tempat yang kurang subur melalui transfer makanan lewat jaringan akarnya.
Salah satu sifat manusia yang membedakannya dengan binatang adalah Tahu Malu atau Che. Dengan demikian manusia yang kehilangan rasa Tahu Malunya bisa diartikan sudah kehilangan pula rasa kemanusiaannya. Tahu Malu yang dimaksud di sini tidak saja menyangkut hal yang terkait dengan kesopanan, moralitas dan kesusilaan, namun juga menyangkut kemampuan diri memberikan makna dan kontribusi bagi keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan kemanusiaan.
Sebagai simbol Che adalah kemampuan bambu menyumbangkan semua bagian dirinya untuk kehidupan. Tunas muda yang disebut rebung dapat diolah menjadi makanan lezat seperti lumpia. Bambu berbagai ukuran bisa digunakan sebagai bahan: seruling, bambu runcing, angklung, calung, rakit, sampai bahan bangunan. Bahkan daunnya pun dapat digunakan sebagai bungkus bacang. Dengan simbol ini setiap orang dituntut terus belajar agar mempunyai multi talenta seperti bambu. Dengan demikian "kehadirannya menambah, sedang ketidakhadirannya akan mengurangi."
Memahami paparan di atas, dapatlah dimengerti mengapa lukisan oriental banyak menampilkan bambu sebagai objek. Menjadi jelas bukan karena keindahannya saja, tapi karena ciri tanaman bambu bisa dijadikan simbol nilai-nilai luhur Xiao, Di, Zhong, Xin, Li, Yi, Lian, Che atau Laku Bakti, Rendah Hati, Satya, Dapat Dipercaya, Susila, Benar atau Bajik, Tulus atau Suci Hati, dan Tahu Malu. Kedelapan nilai-nilai itu dikenal sebagai Delapan Kebajikan yang merupakan salah satu mutiara ajaran agama Khonghucu.
READ MORE - BAMBU